KATA BAGUS

Terbanglah sebebas burung di udara, berpikirlah untuk menjadi yang terdepan,.,!

Serba serbi

hidup adalah sebuah kesempatan untuk mencapai sebuah kemuliaan

Ads 468x60px

Featured Posts

Jumat, 29 Oktober 2010

26 Desember 2004

Tanggal dan tahun ini adalah tahun paling bersejarah bagi ku Khususnya dan bagi seluruh bangsa Aceh umumnya, telah terjadi bencana besar yang melanda Nanggroe tersebut.

Pagi yang cerah itu aku dan kawanku sedang asyik mandi di sungai Krueng lam kareung, di pagi yang cerah itu juga sepertinya akan menjadi hari yang baik, tapi tiba-tiba jam 8.00 WIB semua berubah menjadi pagi yang redup, hanya gemuruh tangisan orang-orang karena ketakutan.

Gempa, gempa, gempa teriak kawanku, waktu itu sedang suasana ujian semester pertama. Karena ujian Syafawi yang diadakan oleh pihak pesantren Oemar Diyan itu selang satu hari dengan santri wati, jadi pada waktu itu hanya santriwati yang mengikuti ujian. Kami yang sedang pulang ke kamar untuk bersiap-siap belajar bersama-sama di mesjid. Semua kami ketakutan karena gempa yang berkekuatan 8,2 Ritcher itu merobohkan beberapa bangunan di pesantren kami, alhamdulillah tidak ada korban.

Setelah beberapa saat gempa mulai reda, ustadz memanggil kami semua untuk berkumpul di lapangan, tapi kami nekat masuk ke kamar karena memang pakaian kami masih pakaian mandi, beberapa saat setelah memasuki kamar dan ganti baju, gempa susulan kembali terjadi.

Kami mendirikan kemah di lapangan untuk berteduh sementara, karena ditakutkan akan terjadi gempa susulan jika pulang ke kamar. Dengan rasa takut pada diri sendiri dan gelisah akan keadaan orang tua, kami hanya bisa berharap mudah- mudahan tidak terjadi apa-apa kepada mereka.

Sekitar satu jam kemudian datang sebuah mobil salah satu keluarga santriwati, dan berkata: "Air naik." Kepanikan pun kembali terjadi, semua orang bertanya-tanya tentang kejadian itu, pesantren yang letaknya di Indrapuri sekitar 25 Km dari pusat kota Banda Aceh menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin menyelamatkan diri.

Karena pihak pesantren tidak mengizinkan untuk pulang jikalau tidak ada orang tua, aku hanya bisa berharap semua keluargaku baik-baik saja.

Disinilah perjuangan di mulai, dari hari-ke hari pasokan makanan di pesantren mulai berkurang, kami hanya makan secukupnya, kadang kami makan bersama-sama dengan lauk yang tidak cukup, kadang Cuma garam dan minyak ditambah telur yang dibelah, tpi itulah kehidupan yang bisa kita ambil, menerima apa adanya dengan lapang dada.

Setelah sekitar 4 minggu setelah kejadian bencana, ujian semester itu di mulai kembali. Kami mengikuti ujian ada yang di bawah pohon sentol, di tenda dan di ruangan yang kira-kira masih layak pakai.

Dari kejadian ini aku mulai menyadari sifat manusia mungkin aku juga demikian, yang dekat dengan hambanya jika ada bencana, dan melupakannya jika dalam keadaan yang serba kecukupan.

0 komentar:

Posting Komentar